Rabu, 28 Desember 2011

Kisah Si Bugis di Tanah Serangan : Indahnya Semangat Multikultur

Oleh : Ni Putu Eka Apsari Yuniari

Hari itu, penulis sedang browsing terkait kampung Bugis yang terletak di pulau sebelah selatan pulau Bali, yakni pulau Serangan. Hasil browsing muncul sebuah gambar tepatnya plang nama kuburan kampung Bugis. Memang sepintas tidak ada yang istimewa dari gambar plang tersebut. Namun setelah diperbesar, muncullah hal yang istimewa. Kampung bugis notabene adalah kampung Islam, otomatis kuburannya pun kuburan bagi umat Islam. Uniknya penulisan plang nama kuburan Kampung Bugis itu disertai dengan aksara Bali. Bahkan disebutkan di situ adalah : “Setra Bugis” baru diikuti dibawahnya dengan kalimat : “Kuburan Bugis”.


Melihat hal itu penulis berdiam sejenak dan meraba – raba: Adakah hubungan multikultur yang baik antara umat Islam Kampung Bugis dan umat Hindu Bali di pulau Serangan. Dimana lagi ada plang nama kuburan Islam yang ditulis dengan aksara Bali ? Hal ini semakin membuat penulis berpikir, bagaimana bisa timbul begitu eratnya hubungan antara umat Islam Kampung Bugis dan umat Hindu Bali di pulau Serangan ? Mengapa hal itu dapat dipertahankan sedemikian rupa tanpa tergoyahkan oleh perubahan sikap masyarakat Bali terhadap agama tertentu akibat aksi terorisme yang terjadi ?

Keeratan hubungan antara umat Hindu Bali dengan umat Islam Kampung Bugis di pulau Serangan dilatarbelakangi oleh sebuah sejarah beratus – ratus tahun lalu. Sejarah kampung Bugis berawal dari sekelompok nelayan Bugis yang terombang – ambing di lautan pada abad ke XVII. Ditengah rasa putus asa, mereka melihat sebuah pulau kecil yakni pulau Serangan dan akhirnya memutuskan untuk berlabuh di pulau tersebut. Akhirnya para nelayan Bugis yang berjumlah 40 orang itu tinggal sementara di daerah yang saat itu dikuasai oleh Cokorda Pemecutan III.

Mendengar kedatangan nelayan yang tidak dikenal, Cokorda Pemecutan III mengirim utusannya untuk menjemput nelayan tersebut. Menurut peraturan, bagi siapapun yang menginjakkan kaki di bumi Serangan, harus menghadap kepada Raja, yakni Raja Badung. Maka nelayan Bugis yang dipimpin oleh Syekh Haji Mumin itupun menghadap Raja Badung dan kedatangan mereka diterima secara baik oleh Raja Badung.

Disaat kedatangan etnis Bugis di Serangan, bersamaan itupula Kerajaan Badung tengah berperang dengan Kerajaan Mengwi. Karena kewalahan menghadapi pasukan kerajaan Mengwi, Raja Badung memutuskan untuk meminta bantuan kepada nelayan kampung Bugis. Mengingat bahwa tipikal masyarakat Bugis yang kuat Raja Badung merasa tidak ragu lagi. Apalagi didukung oleh rasa tanggung jawab dari para nelayan Bugis, dimana mereka berprinsip dimanapun mereka menginjakkan kaki bahkan tinggal atau hidup di daerah tersebut. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk membela serta membantu daerah tersebut apabila dalam masalah.

Dengan tekad yang kuat serta memikul tanggung jawab yang besar , akhirnya keempat puluh nelayan Bugis tersebut ikut berperang dengan bersenjatakan badik (pisau kecil). Tak salah kemenangan jatuh dipihak Raja Badung. Atas jasa para nelayan Bugis, Raja Badung memberikan wilayah bagi nelayan Bugis untuk tinggal. Raja Badung mengetahui bahwa para nelayan Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran dan niaga . Oleh karenanya Syekh Haji Mumin beserta pengikutnya diberikan lahan di bagian selatan Pulau Serangan. Semenjak itu hubungan antara nelayan Bugis yang mayoritas beragama Islam semakin erat dengan Kerajaan Badung yang beragama Hindu. Bahkan para nelayan Bugis dipercaya oleh Raja Badung untuk menjadi penghubung pelayaran. Para nelayan Bugis pula yang mengajarkan para penduduk Serangan tentang cara – cara berlayar.

Nelayan – nelayan Bugis yang hidup disebelah selatan Pulau Serangan akhirnya semakin berkembang. Kampung seluas 2,5 hektar ini , yang semula hanya berjumlah 40 orang kini dihuni oleh 70 kepala keluarga serta sekitar 280 warga muslim. Kehidupan mereka dikeliling perkampungan Hindu, dengan sejumlah pura salah satunya Pura Sad Kahyangan , Pura Serangan.

Kendati awalnya mereka memiliki hubungan baik dengan kerajaan Badung dan masyarakat hindu Bali disekitarnya pada saat itu, namun tidak menjamin saat ini para penghuni kampung Bugis tidak dihadapi oleh persoalan pelik. Perubahan karakter masyarakat Bali. Masyarakat Bali awalnya adalah masyarakat yang tidak menjunjung paham fanatism , selalu terbuka dengan siapa saja, ramah, dan cinta damai berubah sangat drastis. Ingat saja, ketika Megawati gagal menjadi presiden di tahun 1999, para pendukungnya mengamuk dan membakar gedung. Lantas, kawasan Kuta rusuh setelah terjadi pertengkaran antara pedagang pendatang dan penduduk asli serta rusuh oleh pembangunan hotel di sekitar kawasan suci di Nusa Dua.

Sikap tenget1 masyarakat Bali kembali berkobar saat Bali selama dua kali ditimpa bom. Tragedi terror pertama yakni dikenal dengan “Bom Bali I” terjadi pada 12 Oktober 2002. Saat itu menewaskan 202 warga lokal dan asing. Belum puas dengan aksi yang pertama, aksi terorisme kedua pun dilancarkan. Saat itu bom meledak di tiga titik , yakni Kuta dan dua lokasi di Jimbaran. Aksi pengeboman saat itu sukses mewaskan 23 orang dan 196 lainnya luka – luka. Adanya aksi teror terhadap gumi Bali inilah membuat masyarakat Bali yang sudah panas semakin “ngrodok basangne”2.

Peristiwa itulah yang memprovokasi timbulnya rasa curiga dan terjadinya konflik antar agama di tengah masyarakat Bali yang multikultural mengingat pelaku – pelaku perusak Bali adalah non-Hindu. Sepertihalnya pembangunan TK Qhodijah salah satu TK Islam di Pekamblingan dan Sesetan. Awalnya TK ini didirikan dia daerah Pekamblingan, namun setelah 99 % bangunan berdiri justru dihentikan pembangunannya oleh penduduk sekitar (mayoritas Hindu). Kemudian dipindahkan ke daerah Sesetan. Saat siswa sudah siap mendaftar, justru digagalkan kembali oleh masyarakat sekitarnya sehingga proses pendaftaran dibatalkan. Hingga saat ini bangunan TK Qhodijah tidak dipergunakan lagi. Hal ini dipicu oleh rasa curiga masyarakat Hindu Bali di daerah sekitar itu. Mereka berasumsi pembangunan TK akan berujung pada pembangunan masjid sehingga dapat mengganggu kenyamanan penduduk sekitar yang mayoritas beragama Hindu.

Konflik sosial agama seperti itu tidak hanya terjadi di daerah Pekambingan dan Sesetan. Pembangunan Masjid Darul Huda di Jalan Letda Made Putra, pembangunan Musalah Safia di Jalan Belimbing serta Pembangunan Musolah di Banjar Kaliungu Kaja adalah contoh – contoh timbulnya sikap fanatisme umat Hindu terhadap umat agama tertentu.

Fanatisme ini pun juga berimbas kepada kampung Bugis Serangan. Meskipun mereka memiliki hubungan baik dengan umat Hindu, kampung ini tidak luput dari rasa curiga masyarakat Hindu sekitar akan aksi terorisme. Soalnya kampung ini adalah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Tapi bagaimana bisa rasa curiga itu tidak sampai menimbulkan konflik yang berlebihan antara dua agama yang berbeda tersebut? Jawabannya : pengimplementasian nilai – nilai sejarah antara keberadaan Kampung Bugis.

Adanya sejarah yang membentuk kampung Bugis di Pulau Serangan , sejarah bagaimana nelayan kampung Bugis dapat memiliki ikatan erat dengan Kerajaan Badung tentu mengandung nilai – nilai penting yang mengakibatkan hal tersebut dapat terjadi. Adanya nilai kepahlawanan dalam sejarah keberadaan kampung Bugis dapat dilihat pada saat para nelayan Bugis yang membantu Kerajaan Badung melawan Kerajaan Mengwi. Mereka memiliki prinsip dimana kaki mereka berpijak , mereka harus turut membantu tempat tersebut apabila dalam masalah.dari hak tersebut membuktikan bahwa masayarakat Islam Bugis peduli terhadap persoalan ditempat mereka tinggal. Sehingga sangat tidak etis apabila mereka merusak daerah tempat mereka tinggal karena itu akan melanggar prinsip hidup yang mereka junjung.

Selain rasa patriotisme yang tinngi, adanya nilai keterbukaan oleh warga kampung Bugis dapat dijadikan dasar bagi mereka dalam mengatasi konflik sosial agama yang marak terjadi. Kedatangan Syekh Haji Mumin dan puluhan pengikutnya dapat diterima baik dan terbuka oleh Raja Badung. Mengingat bahwa dahulu mereka begitu disanjung dan diterima oleh masyarakat Hindu Bali sekitar, maka dari itu rasa terbuka yang dilakukan oleh Raja Badung saat itu mereka terapkan sampai saat ini dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Apalagi di tengah maraknya rasa curiga masyarakat Hindu Bali terhadap penduduk kampung Bugis. Dengan adanya keterbukaan masyarakat kampung Bugis dengan masyarakat Hindu disekitarnya melalui interaksi sosial yang baik dapat meredam rasa curiga yang ada.

Sejarah akan adanya nilai sosial juga tak kalah penting. Atas jasa para nelayan Bugis yang membantu Kerajaan Badung dalam melawan Kerajaan Mengwi, Raja Badung memberikan wilayah untuk mereka tinggal serta kepercayaan dalam menjalankan roda pelayaran. Hal ini membentuk rasa timbal balik antara Kerajaan Badung dengan nelayan Bugis sehingga menimbulkan hubungan yang erat. Mengingat bahwa sejak dahulu sudah tumbuh harmonisasi kehidupan multikultur yang saling bahu membahu antara masyarakat Bugis dan masyarakat Hindu Bali, sangat disayangkan apabila hubungan itu dirusak begitu saja dengan rasa fanatisme berlebihan dan tindak anarkis.

Beginilah cara masyarakat Bugis dalam mengatasi persoalan konflik agama yang terjadi di sekitar kehidupan mereka. Saling menjaga daerah yang ditempati bersama. Saling terbuka dan menumbuhkan sikap toleransi beragama dalam masyarakat yang dapat membangun rasa percaya dan saling mengerti meskipun dilingkungan tersebut terdiri dari agama yang berbeda. Adanya interaksi sosial yang baik antara masyarakat yang berbeda agama dan sikap saling membantu antar satu dengan yang lainnya semakin mengharmonisasi hubungan antara masyarakat Islam Bugis dengan masyarakat Hindu Bali.

Akhirnya, kini penulis mengerti mengapa plang nama Kuburan Bugis tersebut ditulis sedemikian rupa. Karena adanya sikap toleransi yang tinggi antara umat Hindu Bali dan Kampung Bugis di pulau Serangan. Itulah indahnya semangat multikultur.


Sumber :
http://madyapadma-online.com/index.php?option=com_content&view=article&id=206:kisah-si-bugis-di-tanah-serangan-indahnya-semangat-multikultur&catid=34:tajuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar