Rabu, 28 Desember 2011

Pulau Serangan dan Asal Usul

Serangan adalah sebuah pulau kecil yang terletak 5 km di sebelah selatan kota Denpasar, Bali. Pulau yang memiliki panjang maksimum 2,9 km dan lebar 1 km ini secara administratif termasuk wilayah Kota Denpasar, Bali.

Kata Serangan sering disebutkan berasal dari kata “sira” dan “angen”. Dulu, dalam pelayaran yang melelahkan dari Makassar, para pelaut itu sering singgah di Serangan untuk mencari air minum. Setelah minum di sana, mereka pun akhirnya terkena pengaruh sira angen — merasa sayang atau kangen dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu memutuskan menetap di sana. Selanjutnya, mereka pun membentuk pemukiman yang dikenal dengan Kampung Bugis dan beranak-pinak hingga saat ini.


Pura Sakenan

Nama Pura Sakenan berasal dari kata sakya yang berarti menyatukan pikiran langsung kepada Tuhan.

Menurut beberapa sumber, kelompok tempat suci di Serangan dibangun oleh Mpu Kuturan pada abad ke-12 dan sebagian lagi oleh Danghyang Nirartha pada abad ke-15. Rupanya, para orang suci itu membangun tempat suci karena juga merasa sira angen dengan keindahan alam yang natural dan vibrasi spiritual Serangan. Maka, dibangunlah di situ tempat suci yang memiliki kekhasan arsitektur mirip dengan Pura Luhur Uluwatu yang berlokasi di ujung selatan Pulau Bali.

Dalam lontar “Usana Bali”, Pura Sakenan disebutkan dibangun oleh Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha) pada masa pemerintahan Raja (suami istri) Masula-Masuli (Sri Dhana Dhirajalancana-Sri Dhana Dewiketu). Pada masa pemerintahannya di Bali (1178-1255), Raja Masula-Masuli banyak membangun tempat suci, di antaranya Pura Sakenan. Berdasarkan referensi itu, Pura Sakenan diperkirakan dibangun sekitar abad ke-12.

Sementara itu, dalam “Dwijendra Tattwa” disebutkan bahwa Danghyang Nirartha di tempat suci ini sempat melakukan penyatuan pikiran dan diri dengan Tuhan. Dalam perjalanan suci mengelilingi pantai-pantai di Pulau Bali, beliau sempat menetap di Serangan. Di situlah beliau membangun Pura Dalem Sakenan. Berdasarkan perjalanan suci Danghyang Nirartha di Bali sekitar tahun 1489 (pemerintahan Dalem Waturenggong), maka diperkirakan Pura Dalem Sakenan itu dibangun pada abad ke-15.

Kisah perjalanan Danghyang Nirartha ini akhirnya jadi tradisi masyarakat Hindu di seantero Bali di saat karya besar di Pura Dalem Sakenan yang bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Mengingat Pulau Serangan terpisah dari daratan Bali, para pamedek itu tangkil dari daratan Bali menuju Serangan dengan menaiki jukung. Saat air laut dalam kondisi surut, para pamedek harus siap berjalan kaki melewati semak belukar, menyisir hutan bakau yang panjangnya sekitar dua kilometer. Tradisi itu berlangsung dari masa ke masa.

Namun, ketika proyek reklamasi “menjamah” Serangan, tradisi itu pun menghilang. Perubahan besar terjadi. Sebuah jembatan megah membentang di situ, menghubungkan daratan Bali dengan Pulau Serangan. Seiring dengan perubahan itu, tenggelam pula ritualitas budaya dan tradisi masyarakat Bali saat melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Sakenan. Tak ada lagi iring-iringan jukung sarat pamedek dan sarana prasarana persembahyangan lainnya membelah kebiruan perairan Serangan.

Kini, semua dilakukan serba pintas dan cepat. Jembatan penghubung itu membuat jukung tak lagi dilirik karena kendaraan roda dua dan empat bisa menjelajah Serangan dalam sekejap mata. Dan, seiring dengan reklamasi, menghilang pula predikat “Pulau Emas” dari Serangan. Pasalnya, reklamasi itu telah mengubah hamparan pasir kuning keemasan itu jadi hamparan kapur putih yang menyilaukan mata.

Dikutip dari berbagai sumber, salah satunya :
http://erycloting.wordpress.com/2008/03/08/pulau-serangan-bali/, dalam :

Sumber :
http://e-kuta.com/blog/objek-wisata/pulau-serangan.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar